Selasa, 01 Maret 2011

Berita Budaya 3 (Sejarah Tari Pendet)

BEKASI (1/3)
Tari Pendet termasuk dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang dipentaskan khusus untuk keperluan upacara keagamaan. Tarian ini diciptakan oleh seniman tari Bali, I Nyoman Kaler, pada tahun 1970-an

yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan intensif.

Pada awalnya tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan sambil menaburkan bunga di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari Pendet jadi hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental. Dan tari pendet disepakati lahir pada tahun 1950.

Tari Pendet Sakral

Biasanya Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para penari upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara, masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.

Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia, menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.

Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri, masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga. Pada akhir tarian para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau memulai suatu pertunjukkan (1999: 47).

Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.

Menurut anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.

Tari Pendet Penyambutan

Di samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.

Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih berorientasi kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat.

HAKI tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih berorientasi kepentingan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar