Selasa, 01 Maret 2011

Berita Sosial 1 (Potret Kehidupan Pemulung oleh Y. Argo Twikromo)

JAKARTA(28/2)
Adakah yang bercita-cita jadi pemulung jalanan? Tentu tak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan hidup menjadi pemulung. "Profesi" sebagai pemulung jalanan bukanlah pilihan. Mereka yang menjalaninya karena terpaksa untuk sekadar bertahan hidup, yang tanpa perlindungan hukum, tanpa tempat tinggal, dan tanpa masa depan. Buku ini pada awalnya adalah tesis untuk memperoleh gelar master of arts pada Ateneo de Malina University. Dengan cermat, Y. Argo Twikromo, penulis buku ini, tidak hanya memotret kehidupan pemulung jalanan, terutama di Kota Yogyakarta, tapi juga memetakan di mana sesungguhnya posisi pemulung jalanan dalam budaya dominan masyarakat kota. Pemulung jalanan didefinisikan sebagai orang jalanan yang mempunyai pekerjaan utama sebagai pemulung untuk mendukung kehidupannya sehari-hari. Mereka tidak punya tempat tinggal, tidak punya keluarga, tidak memiliki kewajiban formal, dan tidak terdaftar di unit administrasi pemerintahan. Mereka bagaikan warga negara tanpa tanah air karena, sebagai warga kota, keberadaan mereka hampir tidak pernah mendapatkan perlindungan hukum yang pantas dari tekanan internal dan eksternal. Malah mereka sering mengalami intimidasi dan perlakuan kasar dari aparat pemerintah. Sementara itu, bagi masyarakat kota, gaya hidup pemulung jalanan dianggap negatif, dan dipandang sebagai biang permasalahan sosial, seperti kekumuhan, keresahan sosial, dan kriminalitas. Dalam menghadapi tekanan budaya dominan masyarakat kota yang direkomendasi oleh sejumlah peraturan pemerintah, pemulung jalanan punya sejumlah strategi untuk mengurangi tekanan atau melawan dominasi yang kadang berbeda satu sama lain. Strategi tersebut antara lain berpura-pura mematuhi peraturan atau perintah petugas, berpura-pura mau mengikuti transmigrasi, bergaya seperti orang bodoh, bergaya sebagai wisatawan, dan membentuk penampilan seperti tukang becak atau bakul. Pada kenyataannya, penanganan oleh pemerintah dengan razia lalu ditampung di penampungan sosial, diberikan pelatihan, kemudian ditransmigrasikan atau dipulangkan ke daerah asal, berdasarkan studi dalam buku ini, tidak efektif. Terbukti, pemulung setelah menjalani pelatihan di penampungan sosial, kembali ke jalanan. Bahkan yang sudah ikut transmigrasi akhirnya pulang dan kembali ke profesi semula. Adapun untuk kembali ke daerah asal, pemulung jalanan menghadapi permasalahan yang belum selesai di tempat asalnya.

3 komentar:

  1. Makasih ya telah menuliskan di blog anda. Salam.

    BalasHapus
  2. pak argo bisakah saya memperoleh ebook buku bapak, soalnya saya lagi penelitian tentang kehidupan pemulung di kota medan utk dijadiakn referensi penelitian saya. terima kasih atas bantuan nya pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf, saya bener-bener tidak tahu kalau ada pertanyaan dan komentar anda. Walaupun sudah terlambat tapi tetap akan saya jawab kalau ebook tidak ada. Bisa langsung kontak via email saya (biar tidak terlambat merespon) apabila memang masih diperlukan.

      Hapus